Sebetulnya Qashidah Burdah yang disusun oleh Imam al-Bushiri
ini nama aslinya adalah al-Kawakib ad-Durriyyah fi Madhi Khair al-Bariyyah
(Bintang-bintang Gemerlap tentang Pujian terhadap Sang Manusia Terbaik). Namun kemudian
lebih dikenal dengan nama Burdah al-Madih al-Mubarakah atau Burdah
saja. Ia menulis burdah ini semata-mata untuk memuji Nabi Saw. dan tidak
mengharapkan sesuatu berupa harta benda seperti yang terjadi pada Ka’ab bin
Zuhair.
Imam al-Bushiri hidup pada masa transisi, yakni
kekuasaan Dinasti Ayyubiyah ke Dinasti Mamalik Bahriyah. Dimana pergolakan
politik terus berlangsung, akhlak masyarakat merosot, para pejabat pemerintah
mengejar kedudukan dan kemewahan. Munculnya Qashidah Burdah ini juga merupakan
reaksi terhadap situasi politik, sosial dan kultur pada masa itu, agar mereka
senantiasa mencontoh kehidupan Nabi Saw.
Menurut al-Habib Salim
bin Abdullah asy-Syathiri, ulama besar asal Tarim Hadhramaut, Imam al-Bushiri
adalah seorang penyair yang suka memuji raja-raja untuk mendapatkan uang.
Kemudian beliau tertimpa sakit falij (setengah lumpuh) yang tak kunjung
sembuh setelah berobat ke dokter manapun.
Tak lama kemudian
beliau mimpi bertemu Rasulullah Saw. yang memerintahkannya untuk menyusun syair
yang memuji Rasulullah Saw. Maka beliau mengarang Burdah dalam 10 pasal pada
tahun 6-7 H. Seusai menyusun Burdah, beliau kembali mimpi bertemu Rasulullah Saw.
yang menyelimutinya dengan burdah (mantel). Ketika bangun, sembuhlah
beliau dari sakit lumpuh yang dideritanya.
Imam al-Bushiri juga pernah menuturkan kisahnya: “Aku
menyusun qasidah-qasidah ini untuk memuji Rasulullah Saw. Disamping itu,
temanku yang bernama Zainuddin Ya’qub bin az-Zubair meminta kepadaku untuk
membuat suatu bentuk syair. Bertepatan kemudian dengan peristiwa yang menimpaku,
yaitu sakit lumpuh separo dari tubuhku. Terpikirlah untuk menyusun qasidah ini
dan aku pun mengerjakannya. Dengan berharap meraih syafaatNya, agar Allah Swt. menyembuhkan
sakitku. Kuulangi melagukannya, berdoa dan bertawassul. Kemudian aku tertidur bermimpi
jumpa dengan Nabi Saw.
Dalam mimpiku itu, Nabi Saw. mengusapku dengan
tangannya yang penuh berkah itu dan memberiku sebuah burdah (selimut
lurik). Aku menjadi tersentak, lalu terbangun. Seketika aku bisa berdiri dan
keluar dari rumahku. Kejadian ini tak pernah kuberitahukan kepada seorang pun. Sampai
kemudian, sebagian orang-orang fakir menemuiku dan berkata kepadaku: “Aku
mengharapkan engkau memberikan kepadaku qasidah yang engkau buat untuk memuji
Rasulullah Saw.”
Kujawab: “Yang mana?”
Mereka berkata: “Qashidah yang engkau karang
sewaktu sakitmu.” Kemudian mereka bersenandung di bait yang awal, lalu
berkata lagi: “Demi Allah, sungguh aku mendengarnya kemarin ketika
disenandungkan di samping Rasulullah Saw. sampai beliau Saw. pun bergerak-gerak.
Hal ini membuatku terheran. Kemudian Nabi Saw. memberikan burdah (selimut) kepada
orang yang menyenandungkannya itu.”
Tatkala menyusun qasidah ini, lalu jumpa Nabi Saw. di
dalam mimpi, Imam al-Bushiri pun melagukannya di sisi Nabi Saw. Seolah-olah
Nabi Saw. bergerak seperti halnya dedahanan pohon yang bergerak. Ketika sampai
pada bait:
فَمَبْلَغُ الْعِلْمِ فِيْهِ أَنَّهُ
بَشَرٌ ۞
“Puncak pengetahuan apapun tentangnya, Nabi Saw. tetaplah manusia.”
Imam
al-Bushiri tidak bisa meneruskannya. Lalu Rasulullah Saw. berkata kepadanya: “Bacalah.”
Imam al-Bushiri menjawab: “Saya tidak bisa membuat
mishra’ (suatu ‘ajz atau rangkaian kedua dari satu bait) terhadap mishra’nya
yang pertama.”
Lalu Rasulullah Saw. yang meneruskannya dengan berkata:
وَأَنَّهُ خَيْرُ
خَلْقِ اللَّهِ كُلِّهِمِ
“Dan sungguh ia adalah paling baiknya seluruh ciptaanNya.”
Karena itulah Imam al-Bushiri memasukkan mishra’ ini
ke dalam baitnya tersebut, persis seperti yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. Dan
ia pun membacanya berulang-ulang setiap selesai membaca satu bait Qashidah
Burdah, karena kecintaannya pada lafadz yang diberikan Nabi Saw. itu.
Syaikh Ibrahim al-Bajuri menyatakan bait Burdah yang
diawali dengan Alhamdulillah tidaklah termasuk rangkaian Burdah yang
disusun oleh Imam al-Bushiri. Walaupun indah, menurut sastrawan Arab tidaklah
tepat kalau Burdah yang disusun al-Bushiri dimulai dengan bait itu, karena
kebiasaan sastrawan Arab di dalam memulai syairnya selalu didahului dengan
menyebut maksud dan tujuan syairnya. Dalam hal ini karena Burdah dimaksud untuk
memuji Nabi Muhammad Saw., keasyikan pengarang terhadap Nabi Saw., jadi
haruslah dimulai dengan menyebut tujuan keasyikan, kerinduan dan sebagainya.
Itu pula sebabnya penyair-penyair Arab tidak pernah
memulai syairnya dengan “Bismillah” atau “Alhamdulillah”, kecuali
kalau memang rangkaian gubahannya itu langsung berhubungan dengan pujian
terhadap Allah Swt.
Burdah ini terdiri dari 160 bait syair, diawali dengan:
أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِي
سَلَمٍ
۞ مَزَجْتَ دَمْعًا جَرٰى مِنْ
مُقْلَةٍ بِدَمِ
“Apakah karena kau mengingat sang kekasih di Desa Dzi Salam?
Sampai air mata di pipimu bercampur dengan darah.”
أَمْ هَبَّتِ الرِّيْحُ مِنْ
تِلْقَاءِ كَاظِمَةٍ ۞ أَوْ أَوْمَضَ الْبَرْقُ فِي
الظَّلْمَاءِ مِنْ إِضَمِ
“Ataukah karena angin yang berhembus dari arah Kadzimah,
dan kilat yang berkilau dalam gulita malam di lembah Idham.”
Dzi Salami adalah tempat antara Mekkah dan Madinah.
Sedang Kadzimah adalah jalan menuju Mekkah. Idlami adalah sebuah oase atau waduk
serupa danau di dekat Madinah. Nama-nama ini disebut untuk mengenang Nabi
Muhammad Saw. Tempat-tempat itu pernah dilalui Nabi Saw., bahkan mungkin pula pernah
berhenti di sana.
Dan Burdah ini diakhiri dengan:
مَا رَنَّحَتْ عَذَبَاتِ الْبَانِ
رِيْحُ صَبَا ۞ وَأَطْرَبَ الْعِيْسَ حَادِي الْعِيْسِ
بِالنَّغَمِ
“Selama
angin Shaba masih berhembus, menggoyangkan dedahanan pohon Ban.
Selama para penggembala menghibur untanya
dengan suara merdu nan menyenangkan.”
Sampai di sini habislah Qashidah al-Burdah itu
berjumlah 160 bait, menurut Syaikh Khalid al-Azhari. Demikian pula dikatakan
oleh Syaikh Ibrahim al-Bajuri di dalam syarahnya sebagaimana tersebut dalam
kitab al-Kharbuti. Namun ditambahkan oleh Syaikh Ibrahim al-Bajuri,
sungguhpun demikian di naskah yang lain masih ada lagi kelanjutnya yaitu mulai
dari:
ثُمَّ الرِّضَا عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ
وَعَنْ عُمَرَ ۞ وَعَنْ عَلِيٍّ وَعَنْ عُثْمَانَ ذِي
الْكَرَمِ
“Keridhaan
Allah semoga senantiasa tercurah atas sahabat Abu Bakar, Umar
Utsman dan Ali Ra., yang memiliki
kemuliaan tiada samar.”
Sampai pada bait:
أَبْيَاتُهَا قَدْ أَتَتْ سِتُّوْنَ
مَعَ مِائَةٌ ۞ فَرِّجْ بِهَا كَرْبَنَا يَا وَاسِعَ
الْكَرَمِ
“Bait-bait Burdahnya sebanyak (160)
seratus enam puluh.
Wahai Dzat Yang Mahaluas kemurahanNya,
dengannya duka cita kami lapangkanlah.”
Dengan demikian semuanya berjumlah 166 bait. Penutup
yang indah ini akan memberikan kesan yang positif bagi pendengar dan hati
pembacanya. Atas dasar bait-bait di atas, maka ada pula sebagian ulama
mengelompokkan Burdah al-Bushiri menjadi 10 pasal atau bagian, yang terdiri
dari:
8.
Perjuangan Sang Nabi Saw.
9.
Memohon Ampunan Allah Swt. dan Syafa’at Sang
Nabi Saw.
10. Munajat dan
Memohon Hajat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar