Tak pernah Rasulullah
Saw. menyuruh satu sahabat pun untuk memuji-muji dirinya. Namun memuji-muji
Rasulullah Saw. adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Para sahabat Rasulullah Saw.
seringkali mengungkapkan pujian kepada Rasulullah dalam gubahan syair di hadapannya
langsung, bahkan menyampaikannya ketika sedang berada di masjid. Rasulullah Saw.
pun senang dengan pujian syair yang mereka lantunkan. Tercatat tidak kurang
dari 150 sahabat Nabi yang suka membuat syair pujian untuk Rasulullah Saw.
Diantaranya yang paling terkenal sebagai penyair di era Nabi adalah Sayyidina Hasan
bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah dan Ka’ab bin Zuhair Ra.
Sebuah syair sahabat yang
terkenal dalam memuji Rasulullah adalah syairnya Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma
Ra., yang dikenal dengan “Banat Su’ad” (Putri-putri Su’ad) terdiri dari 59 bait puisi. Ka’ab bin Zuhair adalah seorang penyair. Atas dasar itu Nabi Saw. memberikan burdah
(selimut atau jubah) yang dipakainya kepada Ka’ab bin Zuhair. Saat itu Ka’ab
bin Zuhair sudah berusia 100 tahun, dan merupakan salah satu penyair terkenal
di kalangan Jahiliah dengan nama panggilan Ibnu Abi Salma.
Sebelum memeluk Islam,
ia pernah membuat sebuah syair yang membuat Nabi Saw. murka dan menghalalkan
darahnya. Dalam syair itu ia mencela Rasulullah Saw., Bujair bin Zuhair kakanya
yang telah masuk Islam setelah bertemu Nabi Saw., dan celaan kepada Abu Bakar
ash-Shiddiq Ra.
Akhirnya salah seorang
sahabat meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk mencari dan membunuh Ka’ab
bin Zuhair. Biasanya Rasulullah Saw. bersabar tapi kali ini lain, malah
dijawabnya: “Ya, silakan.” Rupanya ada rahasia di balik pengkabulan ini.
Kabar ini pun kemudian tersebar luas.
Sepulang Rasulullah Saw. dari perang Thâif, Bujair
menulis surat kepada saudaranya untuk memeluk Islam dan mengingatkan kabar
buruk jika ia menolak. Bujair menyarankan Ka’ab untuk bertaubat dan memeluk
Islam. Maka Ka’ab bin Zuhair segera datang ke Kota Madinah untuk bertaubat dan meminta perlindungan.
Awalnya ia datang dengan menutup muka rapat-rapat bertujuan supaya tidak ada
seorang pun yang mengenalinya. Lalu ia datang menghadap Nabi Saw. yang ketika
itu sedang berada di masjid.
Sebelum penutup mukanya
dibuka ia pun mengajukan beberapa pertanyaan yang meyakinkan dirinya jika ingin
masuk Islam keselamatannya akan terjamin. Lalu semua pertanyaannya dijawab oleh
Rasulullah Saw. sehingga dirinya menjadi yakin, lalu dibukalah kain penutup
mukanya itu. Namun para
sahabat ketika mengetahui bahwa ia adalah Ka’ab, langsung meminta izin kepada
Rasulullah untuk memenggal kepalanya karena kelakuannya yang selalu menghina
Nabi Saw. Namun Rasulullah Saw. melarangnya dan balik memaafkan Ka’ab yang
telah bertaubat itu.
Akhirnya Ka’ab bin
Zuhair menyatakan keislamannya di hadapan Nabi Saw. dan mendendangkan sebuah syair
pujian yang diawali dengan:
بَانَتْ سُعَادُ فَقَلْبِيْ الْيَوْمَ
مَتْبُوْلُ ۞ مُتَيَّمٌ إِثْرَهَا لَمْ يُفْدَ مَكْبُوْ لُ
Dan diantara isi syairnya itu sampai memuji-muji Rasulullah
Saw. dengan:
اِنَّ الرَّسُوْلَ لَسَيْفٌ يَسْتَضَاءُ
بِهِ ۞ مُهَنَّدٌ بِسَيْفٍ مِنْ سُيُوْفِ اللهِ مَسْلُوْلُ
“Sungguh engkau
Rasulullah, orang yang hebat, mulia dan sukses. Bagaikan pedang India yang
mampu memisahkan antara hak dan bathil, antara benar dan salah.”
Ketika Ka’ab bin Zuhair
sedang melantunkan syairnya tersebut, Rasulullah Saw. memberi isyarat kepada
sahabatnya untuk mendengarkannya. Kalau saja hal demikian bukan sesuatu yang
terpuji, tentu Rasulullah Saw. kan melarang dan menghentikan apa yang sedang diperbuat
Ka’ab bin Zuhair. Namun bahkan kemudian Rasulullah Saw. memberikannya hadiah sebuah
burdah (selimut atau jubah).
Burdah yang menjadi milik keluarga Ka’ab tersebut
akhirnya dibeli oleh Mu’awiyyah bin Abu Sufyan seharga 20.000 dirham. Kemudian
burdah tersebut dibeli lagi oleh Abu Ja’far al-Manshur dari Dinasti Abbasiyah
dengan harga 40.000 dirham. Burdah itu hanya dipakai sekali olehnya pada waktu
shalat ‘Id dan diteruskan secara turun-menurun.
Kisah lengkap tentang
Ka’ab bin Zuhair ini bisa dibaca dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim
dalam al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, juga disebutkan dalam al-Ishabah
karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqallani dan Usd
al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir.
Dari cerita di atas,
dapat kita lihat bahwa bersyair yang berisi pujian untuk Rasulullah Saw. bukanlah
hal tercela, bahkan hal yang mulia. Rasulullah Saw. sendiri senang dengan
pujian yang ditujukan padanya dan menyuruh para sahabat untuk menyimaknya meskipun
syair itu disampaikan di dalam masjid. Tidak berhenti di situ, Rasulullah pun
memberikan hadiah sebuah burdah untuk sang penggubah syair itu.
Tentang syirik yang
dituduhkan sebagian orang kepada Imam al-Bushiri karena menyifati makhluknya
(Rasulullah Saw.) dengan sifat yang berhak hanya untuk Allah, seperti
Rasulullah disifati sebagai pemberi hidayah, syafaat dan semisalnya,
justifikasi syirik tersebut disebabkan kesalahan mereka dalam memahami
bait-bait pujian tidak dengan proporsional. Mereka
menggunakan dalil sebuah hadits: “Jangan
berlebihan dalam memujiku seperti orang Nasrani memuji Isa putra Maryam.”
Hadits ini bukanlah
larangan dalam berlebihan memuji Nabi Saw., tetapi larangan untuk menuhankan Rasulullah
Saw. sebagaimana kaum Nasrani menuhankan Nabi Isa As. Bukankah Allah sendiri telah menyebut RasulNya dengan
sebutan ar-Rauf dan ar-Rahim
dalam al-Quran, padahal Allah lah sang pemilik sifat ar-Rauf dan ar-Rahim tersebut seperti dalam
Basmalah dan Asmaul Husna?
Akibat dari penalaran yang
tidak proporsional itu akhirnya menyalahkan saudaranya yang seiman. Bahkan
mereka klaim sebagai perbuatan yang syirik, menyekutukan Allah Swt. Imam
al-Bushiri sering menjadi sasaran kritik dalam masalah ini. Mereka bahkan
mengatakan bahwa burdah adalah qasidah syirik, tidak lain hanya nalar yang
sesat.
Mereka juga salah dalam
mengartikan tawassul sebagai syirik karena meminta kepada selain Allah. Ini
merupakan problem klasik yang telah diulas, dibantah dan dijawab berulang kali
oleh ulama Ahlussunnah melalui berbagai tulisan mereka. Diantara kitab yang mengulasnya
secara detail adalah Syawahid al-Haq
karya Syaikh Yusuf Ismail an-Nabhani dan Mafahim
Yajibu an Tushahhah karya Prof. Dr. As-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar